Sabtu, 29 April 2017

Perempuan, dalam Himpitan Keadilan

Perempuan, dalam Himpitan Keadilan
*Nurhayati

Masih, ingatkah kita apa yang sudah dialami saudara kita Tika Indah Yana (19 tahun). Mahasiswi Bima Business School yang diculik selama empat hari, sejak Jumat, 23 Januari 2015 dan ditemukan di kawasan hutan Peukan Bada, Aceh Besar pada Senin, 26 Januari 2015. Pasca kejadian tersebut banyak berita media yang mengabarkan kondisi fisik dan dan syok berat dialami oleh korban.

Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) semakin tahun semakin meningkat. Bukti tersebut bisa kita baca Catatan Tahunan (CATAHU), Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Coba kita lihat, tiga tahun kebelakang (2011-2013). Catatan Tahun 2011 menunjukkan 119.107 kasus terjadi se Indonesia, Tahun 2012 216.156 sedangkan Tahun 2013 mencapai 279.688 kasus. Sering kita dengar fenomena kekerasan ini dikaitkan bagaikan gunung es. Beberapa bagian dari gunung tersebut yang terlihat. Tetapi, banyak sisi lain yang terendam serta belum tampak. Itulah angka kekerasan terhadap perempuan yang berani melaporkan diri serta tercatat dalam dokumen.

Nah di Aceh, kecendrungan perempuan menjadi korban kekerasan juga terus meningkat.  Sehingga bagi kaum hawa menjadi momok yang menakutkan. Padahal, semua perempuan di Serambi Mekkah ini ingin  terlepas dari rajutan kekerasan. Bahkan tidak sedikit dari mereka kehilangan nyawa dalam melawan tindak kekerasan dan mencari keadilan.

Ditambah lagi, korban dan pelaku kekerasan ini tidak memandang bulu dan dimensi apapun. Seperti tidak mengenal usia, jenis kelamin, status sosial dan sebagainya. Bahkan akhir-akhir ini anak usia dini “belum cukup umur” menjadi korban. Sungguh fenemona yang mengerikan bagi kami kaum perempuan.  

Stigma Jelek
Lingkungan sekitar perempuan juga berkontribusi menyumbang angka kekerasan ini. Korban yang menjadi korban dianggap perempuan tidak benar, penggoda dan kurang iman. Lalu, kenapa pelaku tidak dianggap seperti itu. Apakah cuma perempuan yang boleh di stigma atau ini sebuah model pelanggengan yang terjadi? Bukankah semua orang punya nilai hak asasi manusia (kemanusian). Dimana kemanusian pelaku terhadap kami perempuan.

Masih ada orang-orang yang menganggap perempuan sebagai kelompok lemah, lemah secara fisik, ekonomi bahkan power. Sebenarnya anggapan demikian salah besar. Sejarah sudah membuktikan bahwa perempuan juga berada dibarisan depan dalam perang melawan penjajah, pengusaha perempuan juga banyak, intelektual juga bertaburan dimana-mana, bahkan menjadi pemimpin yang memiliki power.

Tersangka Saudara Kita
Harusnya keluarga menjadi pengayom terhadap perempuan. Tapi apa yang terjadi malah sebaliknya. Berita terkait saudara dekat menjadi pelaku. Seperti anak diperkosa oleh ayah tiri. Ada kasus yang ayah kandung juga melakukan perbuatan bejat tersebut. Sungguh aneh bila kita membanyangkan kejadian-kejadian diluar batas normal ini.

Kekerasan bukan hanya terjadi dalam ruang lingkup yang kecil akan tetapi dalam ruang lingkup yang lebih besar, tidak mengenal ruang dan waktu. Dimana kekerasan saat ini terjadi dalam ranah kekerasan publik, negara dan hingga kekerasan yang bersifat komunitas (KOM). Prospek KTP ini berbeda-beda namun menghasilkan akibat yang sama.

Para pengayom seperti aparat kepolisian, anggota militer, pejabat pemerintahan daerah seperti Walikota dan Gubernur, kepala dinas, anggota DPRD, guru, dosen, tokoh agama, dan pengurus Parpol, yang katanya orang berpendidikan baik justru kadang menjadi pelaku KTP ini.

Kenapa Kami?
Kenapa kasus ini terus meningkat? Sulit mencari kebenaran . PadahalBanyak pahlawan dan ilmuwan besar yang lahir di tangan seorang perempuan. Tidak sedikit perempuan yang mampu mengubah dunia dan menjadi teladan dalam kebaikan”. Sebuah sajak pembangun jiwa yang penulis temukan dalam buku The Great Women karangan Muhammad Ali al-Allawi.

Lemahnya peran komunitas perlidungan perempuan, minimnya agen penyelamat perempuan, hukum tidak berjalan dengan baik, kebijakan pemerintah yang setegah hati, masyarakat belum sadar hukum membuat perempuan mengalami KTP terus meningkat di negara ini. 

Kepemimpinan dan Koordinasi Pusat dan daerah juga seakan tidak terjadi. Sehingga sebagian besar kebijakan dan mekanisme perlindungan perempuan yang dibangun menjadi selonggon tulisan, tanpa pengawalan pelaksanaannya. Evaluasi kelemahan, terhadap kinerja perlindungan perempuan juga masih bermasalah. Bahkan sanksi terhadap pelaku bila aparat negara masih jauh dari kata “keadilan”.

Solusi Hukum
Memang harus diakui, sudah banyak undang-undang yang membela perempuan. Contohnya pada tanggal 04 Oktober 2011, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan UU Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Lahirnya UU ini lebih untuk jaminan hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).

Bahkan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang salah satu penekanannya menjaga perempuan agar tidak mengalami kekerasan dalam rumah tangga.  

Seharusnya hukum berjalan sebaik dan sesuai dengan yang di harapkan. Bukan berbanding terbalik dengan perjanjian-perjanjian palsu. Allah SWT berfirman, yang artinya: “Siapa saja yang tidak memberikan keputusan (hukum) dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (Al-Maaidah:44). Teringat saya dengan pepatah Aceh mengatakan “Hukom menyoe hana adee lagee padee hana asoe (hukum bila tidak adil , seperti padi yang tidak berisi atau tidak ada mamfaat).

Pencegahan Dini Berbasis Gampong
Teringat pesan Bang Napi di televisi RCTI. “Kejahatan terjadi bukan saja karena ada niat pelaku, tapi karena ada kesempatan. Maka waspadalah, waspadalah.” Langkah pencegahan dini (Preventif) menjadi kebutuhan mendesak yang harus dilakukan. Beberapa cara yang bisa di aplikasikan pada tataran komunitas gampong dalam meminimalisir kekerasan terhadap perempuan di Aceh. Pertama, mempersempit kesempatan dalam pergaulan bebas. Kedua, memperkuat Karang Taruna (organisasi kepemudaan) di tingkat gampong, posisi mereka harus menjadi penyelamat perempuan bukan pelaku kekerasan. Ketiga, perlombaan gampong ramah perempuan. Ini bisa menjadi model gampong sensitif gender. Keempat, penyediaan fasilitas yang mampu mencegah terjadi kekerasan terhadap perempuan misalnya: lampu penerangan listik yang baik, sehingga anak perempuan bila pulang pengajian tidak dalam keadaan jalan yang gelap.

Selamatkan perempuan Aceh, untuk masa depan yang lebih mulia. Semoga.

Nurhayati adalah Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe dan sekarang sedang aktif di Panteu Menulis Pasee. Email: nurhayati.relations@gmail.com





Bagikan

Jangan lewatkan

Perempuan, dalam Himpitan Keadilan
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.