Potret Buruk Gizi Aceh
Sudah menjadi
pengetahuan bersama, setiap tanggal 25 Januari, kita kembali memperingati Hari
Gizi. Pertanyaannya: keadaan gizi bagaimanakah
yang kita peringati? Sudah sehatkah ia? Atau mungkin di Hari Gizi ini, masih
ada yang kekurangan gizi? Lalu apa yang kita peringati? Apakah Hari Sakit?
Tanya ini terus digulirkan.
Bicara Gizi
Seiring
zaman, definisi Ilmu Gizi terus berkembang. Ada yang mengartikan sebagai
ilmu yang mempelajari proses makanan dari masuk mulut sampai dicerna oleh
organ-organ pencernaan. Setelah itu diolah dalam suatu sistem metabolisme
menjadi zat-zat kehidupan (zat gizi dan zat non gizi), untuk kemudian
dialirkan dalam darah dan sel-sel tubuh sehingga membentuk jaringan dan organ-organ
tubuh. Dan proses akhirnya menghasilkan pertumbuhan (fisik) dan
perkembangan (mental), kecerdasan, dan produktivitas sebagai syarat
dicapainya tingkat kehidupan sehat, bugar dan sejahtera.
Gizi terbagi dua,
yaitu gizi baik dan gizi buruk. Secara pemahaman publik dikatakan bergizi baik,
bila individu tersebut tumbuh sehat dalam segala aspek, baik fisik, kognitif
(kecerdasan) maupun aspek intelektual. Jika keadaan individu tersebut demikian,
maka seseorang itu diyakini akan tumbuh menjadi seorang yang cerdas. Selain
itu, gizi sehat ini sangat berperan penting dalam pembentukan jaringan otak bagi
anak-anak yang berusia dini. Ia dapat mendukung pembentukan sistem jaringan-jaringan
yang efektif bagi bagi anak untuk bisa mengoptimalkan konsep abstrak leadership yang berpotensi memajukan negari
ini.
Namun di sisi
lain, ada potret wajah buruk gizi Indonesia. Faktor lingkungan berkontribusi
besar dalam menyumbang penyakit ini. Kenyataan menunjukkan bahwa kebanyakan yang
menderita gizi buruk itu anak-anak dari keluarga yang memprihatinkan, yang ekonominya
pas-pasan. Penyakit ini juga kerap bersahabat dengan mereka yang tinggal di
bawah kolong jembatan, di pesisir rel kereta api, di persimpangan jalan, ataupun
yang tidur di emperan toko yang hanya beralas kardus saja. Penyakit ini mendera
mereka yang sehari-harinya hanya bisa makan sehari sekali, ataupun terpaksa
makan nasi buangan yang dikaisnya di tong sampah.
Padahal indikator kesehatan dapat
digambarkan oleh beberapa aspek berikut, yaitu: umur harapan hidup, kesehatan
lingkungan, angka kematian, status gizi, angka kesakitan, perilaku serta
ketersediaan tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang baik. Ada juga beberapa
aspek lainnya yang membutuhkan perhatian, yaitu: penempatan tenaga medis tidak
merata, angka harapan hidup yang masih dibawah rata-rata nasional, angka
kematian yang meningkat, tingginya angka gizi buruk Indonesia serta cakupan
pelayanan kesehatan bayi belum sesuai dengan target restra nasional. Namun sayang, indikator dan kenyataan yang
terjadi, tidaklah berjalan beriringan.
Dari itu saya
ingin mengatakan bahwa ilmu gizi itu tidak hanya sebatas berkenaan dengan
kesehatan tubuh, tapi juga kesejahteraan publik. Karena asupan gizi juga perlu
diberikan di tubuh kesakitan ekonomi, kemiskinan, pertanian, lingkungan hidup,
pendidikan, kesetaraan gender, dan penyakit-penyakit kronis lainnya yang
menghambat tumbuh kembangnya pembangunan manusia.
Wajah Buruk Kesehatan
Kini gizi buruk
telah menyebar luas di banyak tanah Indonesia, termasuk Aceh. Di Aceh, banyak bayi
dan balita yang terkontaminasi dengan gizi buruk dan kurang gizi. Angka
Kematian Balita (AKABA) sediri adalah jumlah anak yang meninggal sebelum
mencapai usia lima tahun yang dinyatakan sebagai angka per 1.000 kelahiran
hidup. Pada tahun 2012, proporsi balita gizi kurang sebesar 16.099 (12,7%). Berdasarkan
data UNICEF, kondisi kesehatan anak-anak di Aceh, meningkat dari 38,9% pada 2011 menjadi 44% pada 2012.
Selain itu, berdasarkan data Dinas Kesehatan Aceh tentang Jumlah Kematian
Bayi di Provinsi Aceh selama 2011-2013, yaitu 826 bayi (0-1 tahun) meninggal pada 2011.
Jumlah itu menjadi 982 bayi pada 2012 dan 1.241 bayi pada 2013. Sekitar 30
persen bayi meninggal akibat asfiksia (sesak napas), 25 persen karena berat
badan lahir rendah, dan 10 persen karena kelainan kongenital. Semua itu sangat
dipengaruhi kurangnya gizi saat pertumbuhan janin hingga bayi berusia dua tahun.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, Aceh merupakan provinsi dengan
prevalensi anak balita gizi buruk dan gizi kurang tertinggi ketujuh di
Indonesia. Di Aceh, prevalensi anak balita gizi buruk dan gizi kurang meningkat
sekitar 4 persen dari 23 persen pada 2010, menjadi 27 persen pada 2013. Angka
itu lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi anak balita gizi buruk dan gizi kurang secara nasional sebesar 19,6
persen pada 2013. Hal itu jauh dari sasaran Tujuan Pembangunan Milenium (MDG)
sebesar 15,5 persen pada 2015. (Kompas,
29/1/2014)
Merujuk data Profil Kesehatan Aceh tentang status gizi anak balita
2011-2013, jumlah anak balita gizi buruk dan gizi kurang meningkat pesat dalam
tiga tahun ini. Pada 2011, jumlah anak balita gizi buruk 402 anak, tahun 2012
menjadi 759 anak, dan 2013 menjadi 813 anak. Adapun kasus anak balita gizi
kurang tahun 2011 ada 10.261 anak, tahun 2012 ada 19.225 anak, dan tahun 2013
melonjak jadi 56.527 anak. Hal ini menjadi cerminan tingginya angka kemiskinan
di Aceh, yakni 17,6 persen pada 2013. Angka kemiskinan rata-rata nasional 11
persen. (Kompas, 29/1/2014
Banyak cara telah
dilakukan untuk menanggulangi gizi buruk ini. Namun kerap gagal karena disebabkan
oleh alasan ekonomi yang membuat keluarga tidak sanggup membiayai perawatan
tersebut. Kita harus mengakui Indonesia sudah bekerja semampu mungkin untuk
menciptakan yang terbaik untuk rakyatnya. Namun kapan perubahan lebih baik itu
akan datang, akankah harus menunggu beberapa periode pergantian presiden lagi atau sampai titik bumi meledak karena panas
yang sangat luar biasa dari tekanan dalam dan luarnya. Haruskan masyarakat
primitif yang menjadi peran utama dalam kesusahan dan kinerja pemerintah jadi
peran utama dalam kesenangan?
Semoga keliruan
ini segara terjawab. Semua orang ingin mengibar sayap kesuksesan, namun
kesehatan menjadi salah satu sub menu energi dalam menggapainya. Semoga semboyan
“bersama kita tumbuh, bercerai kita runtuh” menjadi tombak pembangunan bagi
peradaban yang lebih baik.
Nurhayati adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi,
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Email: nurhayati.relations@gmail.com. Publikasi 14 April 2015 di Media Acehxpress.