Minggu, 03 April 2016

Potret Buruk Gizi Aceh

(Oleh :Nurhayati)
Sudah menjadi pengetahuan bersama, setiap tanggal 25 Januari, kita kembali memperingati Hari Gizi.  Pertanyaannya: keadaan gizi bagaimanakah yang kita peringati? Sudah sehatkah ia? Atau mungkin di Hari Gizi ini, masih ada yang kekurangan gizi? Lalu apa yang kita peringati? Apakah Hari Sakit? Tanya ini terus digulirkan.

Bicara Gizi
Seiring zaman, definisi Ilmu Gizi terus berkembang.  Ada yang mengartikan sebagai ilmu yang mempelajari proses makanan dari masuk mulut sampai dicerna oleh organ-organ pencernaan. Setelah itu diolah dalam suatu sistem metabolisme  menjadi zat-zat kehidupan  (zat gizi dan zat non gizi), untuk kemudian dialirkan dalam darah dan sel-sel tubuh sehingga membentuk jaringan dan organ-organ tubuh. Dan proses akhirnya menghasilkan  pertumbuhan (fisik) dan perkembangan (mental), kecerdasan, dan produktivitas sebagai syarat  dicapainya tingkat kehidupan sehat, bugar dan sejahtera.

Gizi terbagi dua, yaitu gizi baik dan gizi buruk. Secara pemahaman publik dikatakan bergizi baik, bila individu tersebut tumbuh sehat dalam segala aspek, baik fisik, kognitif (kecerdasan) maupun aspek intelektual. Jika keadaan individu tersebut demikian, maka seseorang itu diyakini akan tumbuh menjadi seorang yang cerdas. Selain itu, gizi sehat ini sangat berperan penting dalam pembentukan jaringan otak bagi anak-anak yang berusia dini. Ia dapat mendukung pembentukan sistem jaringan-jaringan yang efektif bagi bagi anak untuk bisa mengoptimalkan konsep abstrak leadership yang berpotensi memajukan negari ini.

Namun di sisi lain, ada potret wajah buruk gizi Indonesia. Faktor lingkungan berkontribusi besar dalam menyumbang penyakit ini. Kenyataan menunjukkan bahwa kebanyakan yang menderita gizi buruk itu anak-anak dari keluarga yang memprihatinkan, yang ekonominya pas-pasan. Penyakit ini juga kerap bersahabat dengan mereka yang tinggal di bawah kolong jembatan, di pesisir rel kereta api, di persimpangan jalan, ataupun yang tidur di emperan toko yang hanya beralas kardus saja. Penyakit ini mendera mereka yang sehari-harinya hanya bisa makan sehari sekali, ataupun terpaksa makan nasi buangan yang dikaisnya di tong sampah.

Padahal indikator kesehatan dapat digambarkan oleh beberapa aspek berikut, yaitu: umur harapan hidup, kesehatan lingkungan, angka kematian, status gizi, angka kesakitan, perilaku serta ketersediaan tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang baik. Ada juga beberapa aspek lainnya yang membutuhkan perhatian, yaitu: penempatan tenaga medis tidak merata, angka harapan hidup yang masih dibawah rata-rata nasional, angka kematian yang meningkat, tingginya angka gizi buruk Indonesia serta cakupan pelayanan kesehatan bayi belum sesuai dengan target restra nasional.  Namun sayang, indikator dan kenyataan yang terjadi, tidaklah berjalan beriringan.

Dari itu saya ingin mengatakan bahwa ilmu gizi itu tidak hanya sebatas berkenaan dengan kesehatan tubuh, tapi juga kesejahteraan publik. Karena asupan gizi juga perlu diberikan di tubuh kesakitan ekonomi, kemiskinan, pertanian, lingkungan hidup, pendidikan, kesetaraan gender, dan penyakit-penyakit kronis lainnya yang menghambat tumbuh kembangnya pembangunan manusia.

Wajah Buruk Kesehatan
Kini gizi buruk telah menyebar luas di banyak tanah Indonesia, termasuk Aceh. Di Aceh, banyak bayi dan balita yang terkontaminasi dengan gizi buruk dan kurang gizi. Angka Kematian Balita (AKABA) sediri adalah jumlah anak yang meninggal sebelum mencapai usia lima tahun yang dinyatakan sebagai angka per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2012, proporsi balita gizi kurang sebesar 16.099 (12,7%). Berdasarkan data UNICEF, kondisi kesehatan anak-anak di Aceh, meningkat dari 38,9%  pada 2011 menjadi 44% pada 2012.

Selain itu, berdasarkan data Dinas Kesehatan Aceh tentang Jumlah Kematian Bayi di Provinsi Aceh selama 2011-2013, yaitu  826 bayi (0-1 tahun) meninggal pada 2011. Jumlah itu menjadi 982 bayi pada 2012 dan 1.241 bayi pada 2013. Sekitar 30 persen bayi meninggal akibat asfiksia (sesak napas), 25 persen karena berat badan lahir rendah, dan 10 persen karena kelainan kongenital. Semua itu sangat dipengaruhi kurangnya gizi saat pertumbuhan janin hingga bayi berusia dua tahun.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, Aceh merupakan provinsi dengan prevalensi anak balita gizi buruk dan gizi kurang tertinggi ketujuh di Indonesia. Di Aceh, prevalensi anak balita gizi buruk dan gizi kurang meningkat sekitar 4 persen dari 23 persen pada 2010, menjadi 27 persen pada 2013. Angka itu lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi anak balita gizi buruk dan  gizi kurang secara nasional sebesar 19,6 persen pada 2013. Hal itu jauh dari sasaran Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) sebesar 15,5 persen pada 2015. (Kompas, 29/1/2014)

Merujuk data Profil Kesehatan Aceh tentang status gizi anak balita 2011-2013, jumlah anak balita gizi buruk dan gizi kurang meningkat pesat dalam tiga tahun ini. Pada 2011, jumlah anak balita gizi buruk 402 anak, tahun 2012 menjadi 759 anak, dan 2013 menjadi 813 anak. Adapun kasus anak balita gizi kurang tahun 2011 ada 10.261 anak, tahun 2012 ada 19.225 anak, dan tahun 2013 melonjak jadi 56.527 anak. Hal ini menjadi cerminan tingginya angka kemiskinan di Aceh, yakni 17,6 persen pada 2013. Angka kemiskinan rata-rata nasional 11 persen. (Kompas, 29/1/2014

Banyak cara telah dilakukan untuk menanggulangi gizi buruk ini. Namun kerap gagal karena disebabkan oleh alasan ekonomi yang membuat keluarga tidak sanggup membiayai perawatan tersebut. Kita harus mengakui Indonesia sudah bekerja semampu mungkin untuk menciptakan yang terbaik untuk rakyatnya. Namun kapan perubahan lebih baik itu akan datang, akankah harus menunggu beberapa periode pergantian presiden lagi  atau sampai titik bumi meledak karena panas yang sangat luar biasa dari tekanan dalam dan luarnya. Haruskan masyarakat primitif yang menjadi peran utama dalam kesusahan dan kinerja pemerintah jadi peran utama dalam kesenangan?

Semoga keliruan ini segara terjawab. Semua orang ingin mengibar sayap kesuksesan, namun kesehatan menjadi salah satu sub menu energi dalam menggapainya. Semoga semboyan “bersama kita tumbuh, bercerai kita runtuh” menjadi tombak pembangunan bagi peradaban yang lebih baik.


Nurhayati adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Email: nurhayati.relations@gmail.com. Publikasi 14 April 2015 di Media Acehxpress.
Baca selengkapnya

Potret Hakikat Ibu

(Oleh: Nurhayati)
Perempuan dalam perjalanan kehidupan sangat bermakna dan berarti. Allah SWT telah memberikan sebuah hal istimewa kepada kaum perempuan yang tidak bisa dimiliki oleh para laki-laki hingga akhir umur dunia. Perempuan punya kewajiban memberikan aset generasi baru sebagai wadah masa depan bangsa. Meskipun kebaikan dan keburukan seorang anak sangat kebergantungan terhadap didikan orangtua.

Begitu pentingnya peran ibu dalam mempublikasikan anaknya yang berkualitas bagi bangsa. Melalui pembentukan karakter sejak dini, pembentukan moral, etika, dan akhlak. Pembentukan tersebut tidak hanya difokuskan dalam bidang akademis tetapi dalam bidang psikologis hingga spiritual. Penanaman itu sangat penting dilakukan seorang ibu kepada anak-anaknya agar mengerti dan memahami kodrat sebagai manusia.

Oleh sebab itu untuk menciptakan generasi yang berkualitas diperlukan sosok yang pendidik yang berkualitas pula. Maka seharusnya negara memperhatikan prioritas dan memberikan perhatian terhadap perempuan di seluruh pelosok tanah air. Mengigat perannya sangat penting dalam mengantarkan peradaban sebuah bangsa bukan memberi peluang untuk berhijrah ke negeri orang untuk meraih status Tenaga Kerja Wanita (TKW).

Jika diteliti lebih dalam kita mempunyai permasalahan perempuan yang begitu serius dan sangat komplek. Salah satunya dari segi ekonomi, banyak perempuan dinegari ini yang rela meninggalakan keluarga, sanak saudara dan bahkan negerinya demi mencari nafkah untuk meringankan ekonomi keluarga. Kebanyakan target yang telah mereka persiapkan adalah menjadikan dirinya sebagai TKW. Megapa ada kata “Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam (SDA)” tapi faktanya masih banyak masyarakat negeri ini yang harus mengadu nasib ke negeri orang.

Tanda tanya yang tidak terjawab secara detail bertahun-tahun ini. Padahal dalam Al-Quran Allah telah berfirman, yang artinya: “hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan jaganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali mereka melakukan pekerjaan yang keji yang nyata….”

Perempuan bukan simbol untuk memperalat suatu kegiatan atau hanya citra yang diinginkan oleh orang tersebut. Tapi, perempuan itu sangatlah mulia di sisi Rasullah SAW. Kejadian ketika masa Rasulullah menjadi satu simbol atau fakta terpenting yang harus dicatat oleh dunia. Dimana kala itu ada seorang anak muda bertanya kepada Rasullah SAW: “wahai Rasul siapa yang berhak mendapatkan perlakuan baik dariku? Rasul menjawab: ibumu. Siapa lagi rasul, rasul menjawab: ibumu. Setelah itu siapa lagi Rasul? rasul juga menjawab: ibumu dan kemudian baru Rasul menjawab, bapakmu”.

Dalam hadis ini terkuak dengan jelas peran penting perempuan dalam kehidupan. Rasul menyebut sampai tiga kali dengan sebutan ibu dan pada kali yang keempat baru Rasul menyebut bapakmu. Dengan begitu, bagaimanapun keadaan dan kemampuan seorang perempuan itu tidak menjadi suatu hal yang mempersempit pandangan seseorang terhadapnya. Karena pada hakikat yang fundamental kodrat perempuan itu sangat berpengaruh bagi dunia.
Cintailah Ibu

“Banyak pahlawan dan ilmuwan besar yang lahir di tangan seorang perempuan. Tidak sedikit perempuan yang mampu mengubah dunia dan menjadi teladan dalam kebaikan”. Sebuah sajak pembangun jiwa yang penulis temukan dalam buku “The Great Women” karangan Muhammad Ali al-Allawi. Sama halnya dengan peringatan Hari Ibu yang merupakan sebuah misi di Indonesian dalam mengenang perjuangan perempuan-perempuan yang juga berperan penting dalam memperjuangkan Indonesia pada masa silam.

Dalam wikipedia disebutkan bahwa asal usul sejarah hari ibu di Indonesia dari bertemunya para tokoh perempuan dengan mengadakan rapat perempuan Indonesia I (pertama), pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung Dalem Jayadipuran yang sekarang dipergunakan sebagai Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai tradisional. Mereka berasal dari berbagai daerah di pelosok Indonesia bertujuan untuk menyatukan ide atau gagasan yang telah lama mereka pertahankan untuk kemerdekaan yang mutlak bagi Indonesia.

Banyak ideologi baru yang telah dikemukan dalam proses tukar pikiran tersebut. salah satunya adalah membentuk perempuan yang dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (kowami). Pada rapat perempuan yang ke III tepat pada tahun 1938, menetapkan 22 Desember sebagai perigatan Hari Ibu dan diputuskan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden Nomor316 Tahun 1959 mengesahkan hari perayaan Nasional hingga kini.

Pasifnya sejarah, anak-anak negeri ini memaknai hari ibu adalah satu hari (sehari) membebaskan ibunya dari pekerjaan fisik yang sering ditekuni oleh seorang ibu, seperti memasak, mencuci, menjaga anak, membersihkan rumah dan lain-lain. Bukan membebaskan itu semua dari ibu kita, tapi beliau tidak sepatutnya melakukan pekerjaan itu semasih kita sebagai anaknya bisa mengantikan perannya dalam hal tersebut. Pola pikir semacam ini harus dimusnahkan. Pemikiran yang sangat minim bagi kita sebagai anak dalam memaknai hari penting bagi sang ibu.

Dalam Islam telah dipaparkan, ridha Allah karena ridha orangtua. Orangtua itu diberikan kasih sayang, diperhatikannya serta ditaati semua perintahnya. Sesungguhnya senyum ibu itu energi bagi kita “mother’s is our life”.

Dalam Al-Quran Surat Lukman ayat 14-15 dan Surah Al-Israa’ ayat 23-24 yang dapat kita jadikan pedoman dalam membahagiakan ibu. Pertama, perintah untuk berbuat baik kepada orang tua dengan sebaik-baiknya.Kedua, kewajiban untuk merawat dan mengurus orang tua. Ketiga, kita mewajibkan perilaku santun dan lembut serta mengeluarkan lisan yang mulia. Keempat, kewajiban untuk merendahkan diri dengan penuh kasih sayang, dan yang terakhir, senantiasa mendoakan mereka dalam suka dan duka.

Jadi hari ibu yang telah kita lewati beberapa hari lalu jangan hanya menjadi simbolisme semata, akan tetapi kita terapkan perintah Allah SWT dalam merangkul kehidupan bersama orangtua. Ungkapan cinta dan kasih sayang sudah sepatutnya kita ucapkan di setiap harinya. Bukan hanya pada hari ibu saja. Di hari-hari yang biasa seperti ini juga kita berikan momen yang indah untuknya. Di hari-hari biasa ini pula kita berikan citra kebahagiaan yang sanggup kita raih untuknya. Bahagia ibu bukan hanya pada hari ibu saja, akan tetapi setiap hari yang beliau lewati perlu kesadaran kita akan keabadian cinta dan kasih sayang kita untuknya karena sepatutnya setiap saat itu momen terindah bila dilewati dengan orangtua.

[Nurhayati, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh dan Santriwati Pasantren Rauzhatul Ulumuddin Islamiah (RUDI), saat ini aktif di KSM Creative Minority] Publikasi 31 Desember 2014 di Media Atjehlink.


Baca selengkapnya