Sabtu, 29 April 2017

Jadilah Bintang

Jadilah Bintang
@Nurhayati

Secercik air jatuh dari bola mata
Memandang gelap gulita
Menyamai kesedihan tanpa tara
Menjemput angin senja

Kejadian buram di mata
Kepiluan sekat di dada
Kesukmaan jiwa melanda
Keyakinan tetap dalam jiwa

Segala kian pasti
Menanti kesucian esok hari...


Baca selengkapnya

Engkau ‘Embun’

Engkau ‘Embun’
*Nurhayati


Karang yang keras hidup kembali, ketika engkau bersamanya
Bunga yang layu bercaya, ketika engkau mendekatnya
Engkau, embun yang selalu ada bersamanya.
Baca selengkapnya

Potret Buruk Gizi Aceh

Potret Buruk Gizi Aceh
*Nurhayati

Sumber Foto : AcehNews.Net
Sudah menjadi pengetahuan bersama, setiap tanggal 25 Januari, kita kembali memperingati Hari Gizi.  Pertanyaannya: keadaan gizi bagaimanakah yang kita peringati? Sudah sehatkah ia? Atau mungkin di Hari Gizi ini, masih ada yang kekurangan gizi? Lalu apa yang kita peringati? Apakah Hari Sakit? Tanya ini terus digulirkan.

Bicara Gizi
Seiring zaman, definisi Ilmu Gizi terus berkembang.  Ada yang mengartikan sebagai ilmu yang mempelajari proses makanan dari masuk mulut sampai dicerna oleh organ-organ pencernaan. Setelah itu diolah dalam suatu sistem metabolisme  menjadi zat-zat kehidupan  (zat gizi dan zat non gizi), untuk kemudian dialirkan dalam darah dan sel-sel tubuh sehingga membentuk jaringan dan organ-organ tubuh. Dan proses akhirnya menghasilkan  pertumbuhan (fisik) dan perkembangan (mental), kecerdasan, dan produktivitas sebagai syarat  dicapainya tingkat kehidupan sehat, bugar dan sejahtera.

Gizi terbagi dua, yaitu gizi baik dan gizi buruk. Secara pemahaman publik dikatakan bergizi baik, bila individu tersebut tumbuh sehat dalam segala aspek, baik fisik, kognitif (kecerdasan) maupun aspek intelektual. Jika keadaan individu tersebut demikian, maka seseorang itu diyakini akan tumbuh menjadi seorang yang cerdas. Selain itu, gizi sehat ini sangat berperan penting dalam pembentukan jaringan otak bagi anak-anak yang berusia dini. Ia dapat mendukung pembentukan sistem jaringan-jaringan yang efektif bagi bagi anak untuk bisa mengoptimalkan konsep abstrak leadership yang berpotensi memajukan negari ini.
Namun di sisi lain, ada potret wajah buruk gizi Indonesia. Faktor lingkungan berkontribusi besar dalam menyumbang penyakit ini. Kenyataan menunjukkan bahwa kebanyakan yang menderita gizi buruk itu anak-anak dari keluarga yang memprihatinkan, yang ekonominya pas-pasan. Penyakit ini juga kerap bersahabat dengan mereka yang tinggal di bawah kolong jembatan, di pesisir rel kereta api, di persimpangan jalan, ataupun yang tidur di emperan toko yang hanya beralas kardus saja. Penyakit ini mendera mereka yang sehari-harinya hanya bisa makan sehari sekali, ataupun terpaksa makan nasi buangan yang dikaisnya di tong sampah.

Padahal indikator kesehatan dapat digambarkan oleh beberapa aspek berikut, yaitu: umur harapan hidup, kesehatan lingkungan, angka kematian, status gizi, angka kesakitan, perilaku serta ketersediaan tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang baik. Ada juga beberapa aspek lainnya yang membutuhkan perhatian, yaitu: penempatan tenaga medis tidak merata, angka harapan hidup yang masih dibawah rata-rata nasional, angka kematian yang meningkat, tingginya angka gizi buruk Indonesia serta cakupan pelayanan kesehatan bayi belum sesuai dengan target restra nasional.  Namun sayang, indikator dan kenyataan yang terjadi, tidaklah berjalan beriringan.

Dari itu saya ingin mengatakan bahwa ilmu gizi itu tidak hanya sebatas berkenaan dengan kesehatan tubuh, tapi juga kesejahteraan publik. Karena asupan gizi juga perlu diberikan di tubuh kesakitan ekonomi, kemiskinan, pertanian, lingkungan hidup, pendidikan, kesetaraan gender, dan penyakit-penyakit kronis lainnya yang menghambat tumbuh kembangnya pembangunan manusia.

Wajah Buruk Kesehatan
Kini gizi buruk telah menyebar luas di banyak tanah Indonesia, termasuk Aceh. Di Aceh, banyak bayi dan balita yang terkontaminasi dengan gizi buruk dan kurang gizi. Angka Kematian Balita (AKABA) sediri adalah jumlah anak yang meninggal sebelum mencapai usia lima tahun yang dinyatakan sebagai angka per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2012, proporsi balita gizi kurang sebesar 16.099 (12,7%). Berdasarkan data UNICEF, kondisi kesehatan anak-anak di Aceh, meningkat dari 38,9%  pada 2011 menjadi 44% pada 2012.

Selain itu, berdasarkan data Dinas Kesehatan Aceh tentang Jumlah Kematian Bayi di Provinsi Aceh selama 2011-2013, yaitu  826 bayi (0-1 tahun) meninggal pada 2011. Jumlah itu menjadi 982 bayi pada 2012 dan 1.241 bayi pada 2013. Sekitar 30 persen bayi meninggal akibat asfiksia (sesak napas), 25 persen karena berat badan lahir rendah, dan 10 persen karena kelainan kongenital. Semua itu sangat dipengaruhi kurangnya gizi saat pertumbuhan janin hingga bayi berusia dua tahun.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, Aceh merupakan provinsi dengan prevalensi anak balita gizi buruk dan gizi kurang tertinggi ketujuh di Indonesia. Di Aceh, prevalensi anak balita gizi buruk dan gizi kurang meningkat sekitar 4 persen dari 23 persen pada 2010, menjadi 27 persen pada 2013. Angka itu lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi anak balita gizi buruk dan  gizi kurang secara nasional sebesar 19,6 persen pada 2013. Hal itu jauh dari sasaran Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) sebesar 15,5 persen pada 2015. (Kompas, 29/1/2014)

Merujuk data Profil Kesehatan Aceh tentang status gizi anak balita 2011-2013, jumlah anak balita gizi buruk dan gizi kurang meningkat pesat dalam tiga tahun ini. Pada 2011, jumlah anak balita gizi buruk 402 anak, tahun 2012 menjadi 759 anak, dan 2013 menjadi 813 anak. Adapun kasus anak balita gizi kurang tahun 2011 ada 10.261 anak, tahun 2012 ada 19.225 anak, dan tahun 2013 melonjak jadi 56.527 anak. Hal ini menjadi cerminan tingginya angka kemiskinan di Aceh, yakni 17,6 persen pada 2013. Angka kemiskinan rata-rata nasional 11 persen. (Kompas, 29/1/2014)

Banyak cara telah dilakukan untuk menanggulangi gizi buruk ini. Namun kerap gagal karena disebabkan oleh alasan ekonomi yang membuat keluarga tidak sanggup membiayai perawatan tersebut. Kita harus mengakui Indonesia sudah bekerja semampu mungkin untuk menciptakan yang terbaik untuk rakyatnya. Namun kapan perubahan lebih baik itu akan datang, akankah harus menunggu beberapa periode pergantian presiden lagi  atau sampai titik bumi meledak karena panas yang sangat luar biasa dari tekanan dalam dan luarnya. Haruskan masyarakat primitif yang menjadi peran utama dalam kesusahan dan kinerja pemerintah jadi peran utama dalam kesenangan?
Semoga keliruan ini segara terjawab. Semua orang ingin mengibar sayap kesuksesan, namun kesehatan menjadi salah satu sub menu energi dalam menggapainya. Semoga semboyan “bersama kita tumbuh, bercerai kita runtuh” menjadi tombak pembangunan bagi peradaban yang lebih baik.

Nurhayati adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Email: nurhayati.relations@gmail.com


Baca selengkapnya

Perempuan, dalam Himpitan Keadilan

Perempuan, dalam Himpitan Keadilan
*Nurhayati

Masih, ingatkah kita apa yang sudah dialami saudara kita Tika Indah Yana (19 tahun). Mahasiswi Bima Business School yang diculik selama empat hari, sejak Jumat, 23 Januari 2015 dan ditemukan di kawasan hutan Peukan Bada, Aceh Besar pada Senin, 26 Januari 2015. Pasca kejadian tersebut banyak berita media yang mengabarkan kondisi fisik dan dan syok berat dialami oleh korban.

Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) semakin tahun semakin meningkat. Bukti tersebut bisa kita baca Catatan Tahunan (CATAHU), Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Coba kita lihat, tiga tahun kebelakang (2011-2013). Catatan Tahun 2011 menunjukkan 119.107 kasus terjadi se Indonesia, Tahun 2012 216.156 sedangkan Tahun 2013 mencapai 279.688 kasus. Sering kita dengar fenomena kekerasan ini dikaitkan bagaikan gunung es. Beberapa bagian dari gunung tersebut yang terlihat. Tetapi, banyak sisi lain yang terendam serta belum tampak. Itulah angka kekerasan terhadap perempuan yang berani melaporkan diri serta tercatat dalam dokumen.

Nah di Aceh, kecendrungan perempuan menjadi korban kekerasan juga terus meningkat.  Sehingga bagi kaum hawa menjadi momok yang menakutkan. Padahal, semua perempuan di Serambi Mekkah ini ingin  terlepas dari rajutan kekerasan. Bahkan tidak sedikit dari mereka kehilangan nyawa dalam melawan tindak kekerasan dan mencari keadilan.

Ditambah lagi, korban dan pelaku kekerasan ini tidak memandang bulu dan dimensi apapun. Seperti tidak mengenal usia, jenis kelamin, status sosial dan sebagainya. Bahkan akhir-akhir ini anak usia dini “belum cukup umur” menjadi korban. Sungguh fenemona yang mengerikan bagi kami kaum perempuan.  

Stigma Jelek
Lingkungan sekitar perempuan juga berkontribusi menyumbang angka kekerasan ini. Korban yang menjadi korban dianggap perempuan tidak benar, penggoda dan kurang iman. Lalu, kenapa pelaku tidak dianggap seperti itu. Apakah cuma perempuan yang boleh di stigma atau ini sebuah model pelanggengan yang terjadi? Bukankah semua orang punya nilai hak asasi manusia (kemanusian). Dimana kemanusian pelaku terhadap kami perempuan.

Masih ada orang-orang yang menganggap perempuan sebagai kelompok lemah, lemah secara fisik, ekonomi bahkan power. Sebenarnya anggapan demikian salah besar. Sejarah sudah membuktikan bahwa perempuan juga berada dibarisan depan dalam perang melawan penjajah, pengusaha perempuan juga banyak, intelektual juga bertaburan dimana-mana, bahkan menjadi pemimpin yang memiliki power.

Tersangka Saudara Kita
Harusnya keluarga menjadi pengayom terhadap perempuan. Tapi apa yang terjadi malah sebaliknya. Berita terkait saudara dekat menjadi pelaku. Seperti anak diperkosa oleh ayah tiri. Ada kasus yang ayah kandung juga melakukan perbuatan bejat tersebut. Sungguh aneh bila kita membanyangkan kejadian-kejadian diluar batas normal ini.

Kekerasan bukan hanya terjadi dalam ruang lingkup yang kecil akan tetapi dalam ruang lingkup yang lebih besar, tidak mengenal ruang dan waktu. Dimana kekerasan saat ini terjadi dalam ranah kekerasan publik, negara dan hingga kekerasan yang bersifat komunitas (KOM). Prospek KTP ini berbeda-beda namun menghasilkan akibat yang sama.

Para pengayom seperti aparat kepolisian, anggota militer, pejabat pemerintahan daerah seperti Walikota dan Gubernur, kepala dinas, anggota DPRD, guru, dosen, tokoh agama, dan pengurus Parpol, yang katanya orang berpendidikan baik justru kadang menjadi pelaku KTP ini.

Kenapa Kami?
Kenapa kasus ini terus meningkat? Sulit mencari kebenaran . PadahalBanyak pahlawan dan ilmuwan besar yang lahir di tangan seorang perempuan. Tidak sedikit perempuan yang mampu mengubah dunia dan menjadi teladan dalam kebaikan”. Sebuah sajak pembangun jiwa yang penulis temukan dalam buku The Great Women karangan Muhammad Ali al-Allawi.

Lemahnya peran komunitas perlidungan perempuan, minimnya agen penyelamat perempuan, hukum tidak berjalan dengan baik, kebijakan pemerintah yang setegah hati, masyarakat belum sadar hukum membuat perempuan mengalami KTP terus meningkat di negara ini. 

Kepemimpinan dan Koordinasi Pusat dan daerah juga seakan tidak terjadi. Sehingga sebagian besar kebijakan dan mekanisme perlindungan perempuan yang dibangun menjadi selonggon tulisan, tanpa pengawalan pelaksanaannya. Evaluasi kelemahan, terhadap kinerja perlindungan perempuan juga masih bermasalah. Bahkan sanksi terhadap pelaku bila aparat negara masih jauh dari kata “keadilan”.

Solusi Hukum
Memang harus diakui, sudah banyak undang-undang yang membela perempuan. Contohnya pada tanggal 04 Oktober 2011, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan UU Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Lahirnya UU ini lebih untuk jaminan hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).

Bahkan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang salah satu penekanannya menjaga perempuan agar tidak mengalami kekerasan dalam rumah tangga.  

Seharusnya hukum berjalan sebaik dan sesuai dengan yang di harapkan. Bukan berbanding terbalik dengan perjanjian-perjanjian palsu. Allah SWT berfirman, yang artinya: “Siapa saja yang tidak memberikan keputusan (hukum) dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (Al-Maaidah:44). Teringat saya dengan pepatah Aceh mengatakan “Hukom menyoe hana adee lagee padee hana asoe (hukum bila tidak adil , seperti padi yang tidak berisi atau tidak ada mamfaat).

Pencegahan Dini Berbasis Gampong
Teringat pesan Bang Napi di televisi RCTI. “Kejahatan terjadi bukan saja karena ada niat pelaku, tapi karena ada kesempatan. Maka waspadalah, waspadalah.” Langkah pencegahan dini (Preventif) menjadi kebutuhan mendesak yang harus dilakukan. Beberapa cara yang bisa di aplikasikan pada tataran komunitas gampong dalam meminimalisir kekerasan terhadap perempuan di Aceh. Pertama, mempersempit kesempatan dalam pergaulan bebas. Kedua, memperkuat Karang Taruna (organisasi kepemudaan) di tingkat gampong, posisi mereka harus menjadi penyelamat perempuan bukan pelaku kekerasan. Ketiga, perlombaan gampong ramah perempuan. Ini bisa menjadi model gampong sensitif gender. Keempat, penyediaan fasilitas yang mampu mencegah terjadi kekerasan terhadap perempuan misalnya: lampu penerangan listik yang baik, sehingga anak perempuan bila pulang pengajian tidak dalam keadaan jalan yang gelap.

Selamatkan perempuan Aceh, untuk masa depan yang lebih mulia. Semoga.

Nurhayati adalah Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe dan sekarang sedang aktif di Panteu Menulis Pasee. Email: nurhayati.relations@gmail.com





Baca selengkapnya

Kisah Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) 2016

Kisah Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) 2016
Oleh : Nurhayati


Peneliti dari London University, Robert Dick-Read, membuka mata dunia atas kehebatan pelaut-pelaut nusantara yang telah menguasai perairan dan tampil sebagai penjelajah samudera sejak 1.500 tahun lampau. Ini jauh sebelum Chang Ho dan Colombus membuat sejarah pelayaran fenomenal. Para penjelajah laut nusantara sudah melintasi sepertiga bola dunia, bahkan sebelum kedatangan orang-orang Eropa ke tanah air pada paruh pertama abad XVI.
Puncak kejayaan maritim nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1478). Di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada Majapahit berhasil menguasai dan mempersatukan nusantara. Pengaruhnya bahkan sampai ke negara-negara asing seperti Siam, Ayuthia, Lagor, Campa (Kamboja), Anam, India, Filipina, dan China. Masa kehebatan itu pernah kita rasakan dan terus menjadi tanggungjawab kita dalam menjaga kekokohan maritim nusantara. (maritimemagz.com, 23 Juli 2016)
Kisah ini bermula ketika saya mengirim semua berkas untuk menjadi calon peserta Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) 2016 melalui kapal perintis. Program ENJ merupakan salah satu program yang di koordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Maritim Republik Indonesia. Semua berkas saya kirim mendekati deadline yang telah di tentukan panitia. Sebelumnya saya tidak berniat mendaftar ENJ tahun ini, di karenakan bayangan keberangkatan (pengabdian) ENJ tepat pada saat awal semester. Saya takut jadwal kuliah terganggu yang kegiatannya lebih kurang 15 hari itu. Karena ketakutan itu saya mengurungkan niat untuk mendaftar ENJ.
Itu lah rezeki, mendekati deadline entah apa yang terbisik hingga hati saya mengatakan untuk mendaftar. Karena sudah yakin, akhirnya saya mendaftar dan disini lah cerita itu di mulai.
Setelah saya kirimkan berkas lewat e-mail ke panitia. Saya pun mulai melupakan event yang saya coba itu. Entah kenapa saya merasa tidak akan terpilih menjadi bagian ENJ 2016. Dengan begitu, kembali sibuk dengan kegiatan kampus dan lain sebagainya. Beberapa minggu kemudian, hasil pengumuman di web resmi ENJ (www.maritim.go.id) pun keluar. Di daftar peserta ENJ yang lulus tidak ada nama saya, hanya saja ada di deretan cadangan. Yakni di bawah nama peserta yang resmi lulus tersebut. “Ya sudah, memang bukan rezeki. Menjadi cadangan kemungkinan kecil bisa jadi peserta,” pikir singkat.
Waktu pun berlalu. Saya tidak lagi memikirkan hal tersebut. Berselang beberapa minggu, saya baru menyadari kalau saya sudah di masukkan ke dalam grup WhatsApp ENJ Chapter Aceh. Dari situ saya baru tau bahwa saya dan beberapa teman cadangan lainnya di satukan dalam satu grup, kemudian di beritahukan bahwa kami juga lulus jadi peserta ENJ Umum Chapter Aceh. Yang tergabung dalam peserta umum adalah mereka yang universitasnya tidak di undang oleh pihak pusat. Di Aceh hanya Unsyiah yang di undang oleh pusat, selebihnya tidak. Karena itu, yang lulus selain mahasiswa unsyiah akan di masukkan ke peserta umum, katanya itu prosedur dari pusat.
Saya dan 14 teman ENJ lainnya berangkat ke Desa Gugop, Pulo Aceh, Kecamatan Aceh Besar, Pov. Aceh. Disitulah selama beberapa hari kami menikmati suasana baru sebagai generasi maritim. Melihat dan menempa diri dengan mengenal laut serta ke anekaragaman hayati yang ada di pulau tersebut. Melakukan kegiatan-kegiatan positif bersama warga dan anak-anak di tempat tersebut. Pulo Aceh tepatnya di Pulo Breuh, salah satu pulau yang ada di Pulo Aceh.
Dalam perjalanan kali itu banyak hal yang saya pribadi dapatkan. Dari kebingunan bagaimana keadaan tempat tinggal, tempat ibadah, makan, mandi  dan kerisauan lainnya. Itu wajar di rasakan ketika kita berada di suatu daerah yang asing bagi kita. Itu bagian baru yang harus saya nikmati, karena saya sudah memilih dan sudah berjanji untuk siap menjadi generasi maritim selanjutnya.
Hari pertama kami di sana mendatangi rumah Pak Geuchik Desa Gugop dan menyapa masyarakat setempat. Melakukan komunikasi dengan masyarakat setempat dan anak-anak yang sering main ke tempat kami tinggali sejak semalam. Mungkin karena wajah kami baru bagi mereka, jadi mereka mencoba mendekatkan diri dengan orang-orang yang ada di sekitar sekalipun orang itu asing bagi mereka.
Hari selanjutnya, kami berkunjung ke SD yang ada di Desa Gugop. Disini kami mencoba menjadi teman dekat, kakak, abang, dan saudara mereka. Kami mengajaknya bermain, agar dengan leluasa mereka mau berkomunikasi apa adanya. Mengenalkan desa yang mereka tinggali yang kaya akan keindahan laut dan keasrian udaranya. Di tempat yang selama ini mereka mengais kehidupan, salah satu tempat keajaiban Sang Pencipta yang pantas di syukuri.
Di samping itu, sebagai generasi Indonesia yang baik mereka juga harus mampu menjaga dan melestarikan budaya mereka dengan sebaik-baiknya. Serta mampu memperkenalkan budaya dan adat istiadat mereka kepada orang lain yang tidak terlahir sebagai anak-anak pesisir seperti mereka.
Kegiatan kami selanjutnya, mengajak mereka belajar menjaga lingkungan hidup agar lingkungan sehat bisa mereka nikmati. Sebagai generasi pesisir mereka di wajibkan untuk selalu menjaga keindahan laut, agar biota di laut terasa aman dan nyaman untuk terus tinggal di tempat tersebut. Tak hanya sampai di situ, kami mengajak mereka membersihkan bibir-bibir pantai di sepanjang Desa Gugop. Kemudian sampah-sampah yang sudah terkumpulkan itu kami racik dengan berbagai keahliaan yang mereka miliki hingga melahirkan kreasi-kreasi baru dari barang-barang bekas tersebut.
Ternyata anak-anak pesisir juga punya skil yang luarbiasa seperti anak-anak elit di kota-kota. Itu terlihat dari berbagai jenis hasil kerajinan tangan dari barang-barang bekas tersebut. Mereka juga punya bakat yang jika di asah akan menjadi peluang besar untuk kemajuan masyarakat pesisir sendiri. Hanya saja, posisi mereka tidak seperti anak-anak lainya yang ada di kota. Keterbatasan dan kekuarangan fasilitas adalah hal utama yang harus mereka terima. Entah apa penyebabnya, mereka menjadi bagian dari generasi Aceh khususnya yang terabaikan di bandingkan dengan generasi yang berada di kota atau dekat dengan kemajuan lainnya. Di samping itu kami juga mengajak mereka belajar sambil bermain. Mengajarkan mereka tentang kewarganegaraan, kesehatan, pengetahuan umum yang mampu memberikan informasi baru bagi mereka.
Di samping kami mengajarkan mereka, kami juga banyak belajar hal baru dari mereka maupun apa yang ada di desa mereka. Salah satunya adalah tentang transportasi yang bisa di akses dari Banda Aceh ke Pulo Aceh, maupun sebaliknya. Melalui Boat Ikan nelayan ini lah satu-satunya transportasi yang bisa di gunakan sebagai angkutan umum bagi mereka.
Berdasarkan informasi yang saya dapatkan, dalam seminggu Boat tersebut tidak ada akses pada hari Jumat, hari tersebut di liburkan. Bayangkan, ketika kita mendadak harus ke Banda Aceh, tetap saja niat itu harus di urangkan. Karena tidak ada transportasi yang berjalan. Di hari lainnya, jika kita dari Desa Gugop hendak ke Banda Aceh, maka transportasi itu hanya bisa di akses saat pagi hari (sekitaran jam 07.00 Wib, paling telat jam 07.20 Wib), dan kembali pulang pada saat siang hari. Begitu setiap harinya yang terjadi. Jarak yang harus di tempuh selama dua jam ini, cukup membuat kita risau bagi kita yang jarang naik boat maupun kapal laut. Tidak bagi mereka yang sudah menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari. Transportasi yang satu ini sangat menekankan kedisplinan. Kalau saja kita telat maka kita akan ketinggalan transportasi. Konsekuensinya kita harus menunggu boat selanjutnya (tapi jarang ada), kalau tidak tidak ada otomatis kita baru bisa berangkat besok pagi.
Setelah beberapa hari tinggal di desa tersebut, kami pun kembali ke Banda Aceh. Apa yang saya pribadi rasakan dan dapatkan selama kegiatan ENJ merupakan bagian dari proses belajar untuk menjadi generasi Aceh khususnya yang paham akan budaya dan keajaiban-keajaiban yang Allah ciptakan hingga hari ini masih saya rasakan. Terimakasih teman, sudah memberikan pengalaman baru dalam hidup ini!


~~~Selesai~~~





Baca selengkapnya