Perempuan, dalam Himpitan Keadilan
*Nurhayati
Masih,
ingatkah kita apa yang sudah dialami saudara kita Tika Indah Yana (19 tahun).
Mahasiswi Bima Business School yang diculik selama empat hari, sejak Jumat, 23
Januari 2015 dan ditemukan di kawasan hutan Peukan Bada, Aceh Besar pada Senin,
26 Januari 2015. Pasca kejadian tersebut banyak berita media yang mengabarkan
kondisi fisik dan dan syok berat dialami oleh korban.
Kekerasan
Terhadap Perempuan (KTP) semakin tahun semakin meningkat. Bukti tersebut bisa
kita baca Catatan Tahunan (CATAHU), Komisioner Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Coba kita lihat,
tiga tahun kebelakang (2011-2013). Catatan Tahun 2011 menunjukkan 119.107
kasus terjadi se Indonesia, Tahun 2012 216.156 sedangkan Tahun 2013 mencapai
279.688 kasus. Sering kita dengar fenomena kekerasan ini dikaitkan bagaikan
gunung es. Beberapa bagian dari gunung tersebut yang terlihat. Tetapi, banyak
sisi lain yang terendam serta belum tampak. Itulah angka kekerasan terhadap
perempuan yang berani melaporkan diri serta tercatat dalam dokumen.
Nah di Aceh, kecendrungan perempuan menjadi korban kekerasan juga terus
meningkat. Sehingga bagi kaum
hawa menjadi momok yang menakutkan. Padahal, semua perempuan di Serambi Mekkah
ini ingin terlepas dari rajutan
kekerasan. Bahkan tidak sedikit dari mereka kehilangan nyawa dalam melawan
tindak kekerasan dan mencari keadilan.
Ditambah
lagi, korban dan pelaku kekerasan ini tidak memandang bulu dan dimensi apapun. Seperti
tidak mengenal usia, jenis kelamin, status sosial dan sebagainya. Bahkan akhir-akhir
ini anak usia dini “belum cukup umur” menjadi korban. Sungguh fenemona yang
mengerikan bagi kami kaum perempuan.
Stigma Jelek
Lingkungan
sekitar perempuan juga berkontribusi menyumbang angka kekerasan ini. Korban
yang menjadi korban dianggap perempuan tidak benar, penggoda dan kurang iman.
Lalu, kenapa pelaku tidak dianggap seperti itu. Apakah cuma perempuan yang
boleh di stigma atau ini sebuah model pelanggengan yang terjadi? Bukankah semua
orang punya nilai hak asasi manusia (kemanusian). Dimana kemanusian pelaku
terhadap kami perempuan.
Masih
ada orang-orang yang menganggap perempuan sebagai kelompok lemah, lemah secara
fisik, ekonomi bahkan power.
Sebenarnya anggapan demikian salah besar. Sejarah sudah membuktikan bahwa
perempuan juga berada dibarisan depan dalam perang melawan penjajah, pengusaha
perempuan juga banyak, intelektual juga bertaburan dimana-mana, bahkan menjadi pemimpin
yang memiliki power.
Tersangka Saudara Kita
Harusnya
keluarga menjadi pengayom terhadap perempuan. Tapi apa yang terjadi malah
sebaliknya. Berita terkait saudara dekat menjadi pelaku. Seperti anak diperkosa
oleh ayah tiri. Ada kasus yang ayah kandung juga melakukan perbuatan bejat
tersebut. Sungguh aneh bila kita membanyangkan kejadian-kejadian diluar batas
normal ini.
Kekerasan
bukan hanya terjadi dalam ruang lingkup yang kecil akan tetapi dalam ruang
lingkup yang lebih besar, tidak mengenal ruang dan waktu. Dimana kekerasan saat
ini terjadi dalam ranah kekerasan publik, negara dan hingga kekerasan yang
bersifat komunitas (KOM). Prospek KTP ini berbeda-beda namun menghasilkan
akibat yang sama.
Para
pengayom seperti aparat kepolisian, anggota militer, pejabat pemerintahan
daerah seperti Walikota dan Gubernur, kepala dinas, anggota DPRD, guru, dosen,
tokoh agama, dan pengurus Parpol, yang katanya orang berpendidikan baik justru
kadang menjadi pelaku KTP ini.
Kenapa Kami?
Kenapa kasus ini terus meningkat? Sulit mencari kebenaran . Padahal“Banyak pahlawan dan ilmuwan besar
yang lahir di tangan seorang perempuan. Tidak sedikit perempuan yang mampu
mengubah dunia dan menjadi teladan dalam kebaikan”. Sebuah sajak pembangun jiwa yang penulis
temukan dalam buku The Great Women karangan Muhammad Ali al-Allawi.
Lemahnya peran komunitas
perlidungan perempuan, minimnya agen penyelamat perempuan, hukum tidak berjalan
dengan baik, kebijakan pemerintah yang setegah hati, masyarakat belum sadar
hukum membuat perempuan mengalami KTP terus meningkat di negara ini.
Kepemimpinan
dan Koordinasi Pusat dan daerah juga seakan tidak terjadi. Sehingga sebagian
besar kebijakan dan mekanisme perlindungan perempuan yang dibangun menjadi
selonggon tulisan, tanpa pengawalan pelaksanaannya. Evaluasi kelemahan,
terhadap kinerja perlindungan perempuan juga masih bermasalah. Bahkan sanksi
terhadap pelaku bila aparat negara masih jauh dari kata “keadilan”.
Solusi Hukum
Memang harus diakui,
sudah banyak undang-undang yang membela perempuan. Contohnya pada
tanggal 04 Oktober 2011, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan UU
Nomor 16 Tahun
2011 Tentang Bantuan Hukum. Lahirnya UU ini lebih untuk jaminan hak
konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai
sarana perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Bahkan
UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang
salah satu penekanannya menjaga perempuan agar tidak mengalami kekerasan dalam
rumah tangga.
Seharusnya
hukum berjalan sebaik dan sesuai dengan yang di harapkan. Bukan berbanding
terbalik dengan perjanjian-perjanjian palsu. Allah SWT berfirman, yang artinya:
“Siapa saja yang tidak memberikan keputusan (hukum) dengan apa yang diturunkan
Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (Al-Maaidah:44). Teringat saya
dengan pepatah Aceh mengatakan “Hukom menyoe
hana adee lagee padee hana asoe (hukum bila tidak adil , seperti padi yang
tidak berisi atau tidak ada mamfaat).
Pencegahan Dini Berbasis Gampong
Teringat
pesan Bang Napi di televisi RCTI. “Kejahatan terjadi bukan saja karena ada niat
pelaku, tapi karena ada kesempatan. Maka waspadalah, waspadalah.” Langkah
pencegahan dini (Preventif) menjadi
kebutuhan mendesak yang harus dilakukan. Beberapa cara yang bisa di aplikasikan
pada tataran komunitas gampong dalam meminimalisir kekerasan terhadap perempuan
di Aceh. Pertama, mempersempit kesempatan dalam pergaulan bebas. Kedua, memperkuat
Karang Taruna (organisasi kepemudaan) di tingkat gampong, posisi mereka harus menjadi
penyelamat perempuan bukan pelaku kekerasan. Ketiga, perlombaan gampong ramah
perempuan. Ini bisa menjadi model gampong sensitif gender. Keempat, penyediaan
fasilitas yang mampu mencegah terjadi kekerasan terhadap perempuan misalnya:
lampu penerangan listik yang baik, sehingga anak perempuan bila pulang
pengajian tidak dalam keadaan jalan yang gelap.
Selamatkan
perempuan Aceh, untuk masa depan yang lebih mulia. Semoga.
Nurhayati adalah Mahasiswi Ilmu
Komunikasi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe dan sekarang sedang aktif di
Panteu Menulis Pasee. Email: nurhayati.relations@gmail.com
Bagikan
Perempuan, dalam Himpitan Keadilan
4/
5
Oleh
https://nurhayatisuesa.blogspot.com/